Alunan Gamelan Pendulang Cuan, Berkah Lestarikan Budaya yang Membuka Lapangan Kerja

Ketika mendengar Boyolali, sebagian orang mungkin akan teringat pada julukannya sebagai Kota Susu. Pasalnya, kabupaten yang terletak di kaki Gunung Merapi dan Gunung Merbabu ini memang menjadi salah satu sentra terbesar penghasil susu sapi segar di Jawa Tengah.

Namun, kini ada keunikan lain yang patut disematkan pada Boyolali. Adalah Lilik Dwi Fajar Riyanto yang memberikan sumbangsih pada kekayaan lokalitas di daerahnya melalui produksi gamelan. Ya, pemuda berusia 32 tahun yang akrab disapa Fajar ini sehari-hari bergelut dengan usaha di bidang pembuatan alat musik Jawa, yakni gamelan.  

Perkenalannya dengan gamelan bermula sejak 2008 ketika ia bekerja pada Suwaldi yang mengelola usaha pembuatan gamelanKarena bantuan dan pengabdiannya, Fajar pun kian dekat sehingga dianggap anak angkat Suwaldi.

Usaha pembuatan gamelan di Kec. Banyudono, Kab. Boyolali yang digeluti Fajar (Dok. Lilik Dwi Fajar Riyanto) 

 


Meneruskan usaha ayah angkat

Tugas Fajar antara lain memastikan ketersediaan stok sehingga diketahui apa saja yang harus dibeli lantaran habis. Bersama sang ayah angkat, Fajar berkunjung ke dinas-dinas pemerintah yang potensial memesan gamelan. Di sana Fajar menunjukkan dan menjelaskan keunggulan gamelan produksi milik Suwaldi.

Sepuluh tahun berselang, tahun 2018 pun Fajar memutuskan untuk mendirikan CV. Berkah Bopo; Kerajinan Gamelan di Desa Ngaru Aru, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali menyusul kepergian ayah angkatnya. Ia tak mau produksi gamelan terhenti hanya Sulwadi telah berpulang sementara tak ada keluarganya yang tertarik meneruskan.

“Saya mendirikan CV sendiri, mulai dari nol lagi tetapi dengan jalur yang sudah diberikan oleh beliau. Pekerja dari beliau yang masih mau bekerja saya libatkan,” demikian ujar sarjana dari Sekolah Tinggi Hindu Dharma (STHD) ini sebagaimana dituturkan kepada Daryono, wartawan Tribunnews.com.

Pegawai CV Berkah Bopo sedang bekerja. (Dok. Lilik Dwi Fajar Riyanto)

Beruntunglah dia telah menyisihkan pendapatan selama membantu Sulwadi. Dengan tabungan sebesar Rp50 juta, Fajar pun menyewa rumah sebagai tempat produksi gamelan. Untuk mendapatkan sumber pendapatan alternatif, usaha laundry juga ia buka di tempat yang sama.

Ia sadar bahwa fokus usaha memang produksi gamelan. Namun, penghasilan dari penjualan gamelan tidak bisa dipetik setiap hari. Itulah sebabnya usaha laundry dipilih sebab arus kas lebih lancar dari hari ke hari dan bisa menyokong kebutuhan.

Diledek karena dianggap tak modern

Usaha yang dirintis sejak empat tahun lalu rupanya tak sepi dari ejekan, terutama dari teman seusianya. Ada misalnya yang berseloroh, "Buka usaha kok gamelan, kok enggak (usaha yang) modern!” Terhadap cibiran ini, ia santai saja menanggapi. Alih-alih tersinggung, ia menganggap komentar itu sebagai lecutan untuk memajukan usahanya.

Cibiran semacam itu sama sekali tak ia anggap apalagi sampai sakit hati. Bagi Fajar, adalah sebuah kebanggaan bagi pemuda yang punya usaha daripada tidak punya sama sekali lalu sibuk mencibir ikhtiar teman. Cibiran itu terlontar mungkin sebab mereka tak tahu keunikan dari produksi gamelan, termasuk omzet dan keuntungannya. Ada kenikmatan tersendiri menggeluti usaha ini yang tak bisa ditukar dengan materi.

Buktinya, gamelan produksinya bisa meraup omzet minimal Rp100-150 juta per tahun. Karena Fajar menerima pemesanan gamelan baik bijian maupun satu set, maka angka transaksi pun bervariasi. Pernah, misalnya, ia mendapatkan pesanan gamelan senilai Rp1,4 miliar yakni berupa 7 set yang datang dari Kabupaten Purbalingga.

Namun, pesanan tidak hanya datang dari wilayah sekitar. Gamelan yang diproduksi CV Berkah Bopo telah melanglang ke berbagai kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, bahkan ke luar Jawa. Semua itu tak lepas dari mutu gamelan yang dikerjakannya.

Teman yang dulu mencibir usahanya mungkin akan terkejut bahwa gamelan produksi Fajar juga telah merambah pasar luar negeri. Ada Malaysia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat yang telah mengakui kualitas gamelan buatan CV Berkah Bopo. Bukan cuma mutu yang dipastikan, tapi juga standar harga yang sama ke semua pembelinya, baik dalam maupun luar negeri—itulah yang membuat usahanya semakin dikenal luas.

Semangat kolaborasi, berdayakan UKM lokal

Dalam memenuhi pesanan, Fajar mengaku tak bisa mengerjakan seluruhnya sendirian. Keterbatasan ini justru membuka peluang dan berkah bagi perajin gamelan di wilayah lain. Tepat seperti nama usahanya, Berkah Bopo, yang memang terus menebarkan rezeki untuk sesama.

Dengan spirit kolaborasi, Fajar pun menggandeng 25 mitra perajin gamelan rumahan yang berasal dari Kecamatan Bekonang, Sukoharjo. Lalu sembilan orang pegawai CV Berkah Bopo melakukan proses finishing sesuai arahan Fajar dan pesanan pelanggan.

Berbagai jenis gamelan produksi CV Berkah Bopo, Boyolali (Dok. Lilik Dwi Fajar Riyanto)

Praktik kolaborasi ini sangat penting mengingat ada sekitar 22 jenis alat musik dalam satu set gamelan. Sebut saja bonang, peking, saron, kempul, kenong, gender, selenteng, demung, gong, dan masih banyak yang lain. Nah, kehadiran mitra UKM perajin dari daerah lain akan memudahkan penggarapan setiap jenis alat musik, terutama perajin kayu yang membuat sangkarnya.

Jualan gamelan bukan soal keuntungan

Tentang harga gamelan, ada baiknya kita mengetahui jenis bahan gamelan yang digunakan, yaitu besi, kuningan, dan perunggu. Gamelan berbahan besi biasanya dipesan untuk praktik karawitan di sekolah dan ditawarkan pada harga Rp60 juta per set.

Adapun gamelan berbahan kuningan jauh lebih mahal, yaitu dijual seharga Rp250 juta per set. Namun, yang paling mahal ternyata gamelan perunggu yang ditawarkan seharga Rp400 juta per set.

Lilik Dwi Fajar Riyanto optimistis menggeluti usaha produksi gamelan. (Dok. Daryono/tribunnes.com)

Fajar mengaku, proses pembuatan gamelan tidaklah instan. Pembuatan satu set gamelan berbahan besi, misalnya, memerlukan waktu sekitar satu bulan. Adapun gamelan berbahan perunggu butuh dua bulan perampungan.

Proses awal adalah peleburan bahan, seperti perunggu, timah, dan tembaga. Bahan yang telah dilebur lantas dicetak menjadi bilah dan ditempa sampai didapat bentuk yang diinginkan.

Penempaan boleh dibilang merupakan tahap yang paling rumit di antara tahapan lainnya. Perajin harus punya skill menempa yang mumpuni. Kalau tidak, hasilnya akan berpengaruh pada tahap berikutnya, yakni membabar. Membabar berarti perajin memeriksa lagi kondisi fisik gamelan. Jika ditemukan ada bentuk yang cacat, maka gamelan akan diperbaiki.

Tahapan yang tak kalah penting adalah proses melaras. Proses ini tak bisa main-main sebab membutuhkan keahlian khusus untuk mencapai tangga nada sesuai keinginan. Jangan sampai gamelan menghasilkan bunyi sumbang saat dimainkan. Tahap akhir: gamelan diamplas, dicat, dan dimasukkan ke dalam tiap sangkar untuk dikirim kepada pelanggan.

Pesanan gamelan siap dikirim ke pelanggan. (Dok. Lilik Dwi Fajar Riyanto)

Jika kita memahami adanya proses yang demikian panjang, niscaya harga yang ditawarkan tentunya sepadan. Toh bagi Fajar, menggeluti produksi gamelan bukanlah soal keuntungan atau kalkukasi ekonomi semata-mata. Mereka memang menggantungkan hidup pada produksi gamelan, tetapi lebih jauh dari itu usaha yang digelutinya bersama tim adalah sebuah ikhtiar untuk turut melestarikan budaya Jawa yang saat ini sudah banyak ditinggalkan, lebih-lebih oleh generasi muda.

"Saya berharap gamelan selalu dikabarkan dan dikenalkan agar anak-anak muda sekarang tetap mengenalnya. Jangan sampai budaya warisan leluhur yang sudah mulai dikenal oleh dunia justru tidak dikenali oleh anak bangsa sendiri." Demikian pesan Fajar sebagaimana disampaikan kepada lagilibur.com.

Maka melihat harga gamelan produksinya yang mungkin terkesan mahal, kita harus sadar bahwa ada proses dan perjuangan merawat budaya Nusantara sekaligus membuka lapangan kerja. Siapa sangka fajar yang ayahnya seorang sopir truk ekspedisi dan ibunya seorang ibu rumah tangga biasa dapat membuka usaha kreatif yang mempekerjakan sembilan pegawai yang sebagian besar adalah pemuda lulusan SMP.

Listyanto salah satunya. Pemuda berusia 29 tahun ini telah ikut Fajar selama lima tahun. Semula bekerja pada Suwaldi, Listiyanto mengaku betah bekerja pada Fajar karena mendapatkan hak yang layak. Bukan hanya gaji, ia juga mendapatkan uang lembur ketika mengerjakan pesanan yang meningkat.

Listiyanto asal Sawit, Boyolali ini menikmati bekerja di CV Berkah Bopo karena Fajar bisa mengerti karyawan. Selain pengertian, Fajar juga punya sifat merangkul sehingga disenangi pegawai.

Tantangan dalam usaha produksi gamelan

Selain cibiran teman, tantangan dalam usaha produksi gamelan muncul saat Covid-19 mewabah. Tentunya tak mudah dihantam badai pandemi padahal usaha produksi gamelannya baru dirintis selama satu tahun.

Akibat pandemi, pemesanan yang kebanyakan berasal instansi pemerintah mendadak dikurangi lantaran dananya dialihkan untuk menangani korban Covid-19. Sungguh jadi pukulan berat ketika order tiba-tiba dipangkas demi penanganan Covid. Ia mencontohkan ada yang semula pesan sepuluh ternyata dibatalkan menjadi hanya pesan lima.

Finishing gamelan CV Berkah Bopo (Dok. lagilibur.com)

Faktanya, Fajar telah memproduksi 10 sesuai pesanan awal. Walhasil, sisa lima pun terbengkalai. Ini berujung pada menurunnya omzet penjualan yang cukup signifikan, yakni 70% sehingga omzet tingga 30 persen.

Walau sempat merumahkan beberapa karyawan akibat terpaan pandemi, usaha produksi gamelan CV Berkah Bopo akhirnya perlahan membaik. Omzet tahun 2022 tercatat mengalami kenaikan meskipun belum mencapai 100 persen sebagaimana kondisi sebelum pandemi. Namun, ia bersyukur para pegawainya telah kembali dipekerjakan.

Kendala lain selama menjalankan usahanya adalah merugi, misalnya akibat pembayaran yang molor hingga pesanan yang tidak dibayar. Fajar sadar sepenuhnya bahwa biaya produksi gamelan cukup besar. Sementara itu, tak jarang pesanan gamelan dari instansi hanya berupa surat kontrak tanpa disertai uang muka.

Dengan kata lain, Fajar harus memutar otak agar mendapatkan modal untuk mulai mengerjakan pesanan. Akhirnya, ia terpaksa mengajukan pinjaman ke sejumlah lembaga pembiayaan yang sekiranya bisa membantu.

Optimisme gamelan untuk masa depan

Atas dedikasinya dalam mengelola usaha produksi gamelan sebagai andil pada pelestarian budaya sekaligus membuka lapangan pekerjaan, maka Fajar pun mendapatkan apresiasi bergengsi dari PT Astra Internasional, Tbk.

Ia didapuk sebagai Pemuda Pelestari Alat Musik Gamelan di Boyolali dan menjadi salah satu penerima Satu Indonesia Awards (SIA) Tingkat Provinsi pada tahun 2021 lalu untuk kategori individu bidang kewirausahaan.

Lilik Dwi Fajar Riyanto bersama penghargaan Satu Indonesia Awards. (Dok. lagilibur.com)

Meskipun merasa materinya biasa saja dibanding peserta lain, rupanya juri memilihnya sebagai salah satu pemenang. Ini adalah bukti bahwa keputusannya menggeluti usaha produksi gamelan tak bisa diremehkan. Di balik motif ekonomi dengan membuka kesempatan bekerja bagi anak muda, ia juga ikut melestarikan khazanah Nusantara yang bisa pupus dengan mudah.

Ia optimistis bahwa gaamelan masih akan berjaya di masa depan karena alat musik ini sebenarnya bisa dikreasikan dengan alat musik modern. Jadi tak ada alasan untuk malu menekuninya, baik sebagai unit usaha maupun memainkan alat musik tradisional itu bagi yang mampu.

Di mata Fajar, negara tidak akan kehilangan jati diri kalau generasi muda mau melestarikan kekayaan budaya yang ada. Itulah sebabnya ia tak pernah lelah mengajak para pemuda di lingkup pergaulannya untuk ikut melestarikan budaya sendiri. Jangan sampai lebih mencintai produk budaya asing sehingga melupakan budaya sebagai identitas bangsa, apalagi sampai warisan budaya ini diklaim oleh negara lain. Maka pelestarian adalah solusinya.

Jika satu Fajar bisa menggerakkan ekonomi lokal dan mempertahankan kearifal lokal, maka Indonesia butuh puluhan bahkan ribuan Fajar untuk bisa berkontribusi pada pembangunan dan kemajuan nasional dalam pengertian seluas-luasnya, pada bidang yang beraneka ragam.

Dengan begitu, kita bisa menyongsong masa depan dengan senyum cemerlang dan optimisme tanpa harus selalu khawatir akan ketertinggalan oleh produk asing sementara produk-produk daerah di seantero Nusantara tak kalah memikat, adiluhung, dan menawarkan keuntungan finansial.

Semua dimulai dari aksi nyata seperti Lilik Dwi Fajar Riyanto yang terbukti menjadi berkah secara ekonomi dan budaya bagi lingkungannya, tepat seperti nama usaha yang disandang: Berkah Bopo alias berkah bapak. 

Post a Comment

2 Comments