Mengoptimalkan Peran Media dalam Menyuarakan Isu Kusta dan Difabilitas

Kasus diskriminasi bagi penyandang disabilitas sudah kerap terjadi di ruang publik. Hal-hal itu kerap dipotret dalam tayangan media seperti video pendek maupun komedi sitkom yang bernada satiris. Misalnya salah satu episode Bajaj Bajuri yang menampilkan petenis difabel bernama Inung Nugroho. Dalam sitkom tersebut, Inung yang beraktivitas di atas kursi roda mendapat sorotan negatif dari tetangga sekitar setelah ia pindah dan menyewa rumah di sebuah kompleks. Keterbatasan fisik itu dianggap sebagai penghambat baginya untuk memiliki produktivitas ekonomi padahal ia mendapatkan uang berkat skill atau keterampilan.

Dalam kehidupan nyata, ada Muhammad Amin Rafi yang juga mendapat perlakuan tidak menyenangkan, bahkan sempat memicunya untuk bunuh diri. Sungguh mengerikan bukan? Pandangan negatif atas seseorang karena ia mengidap kusta rupanya berdampak sangat besar, baik secara psikis maupun ekonomis. 

Penyandang difabilitas layak mendapat dukungan dan kesempatan, bukan belas kasihan. (Foto: pexels/Matheus Bertelli)

Nyaris bunuh diri karena kusta

Syukurlah, Amin yang masih keturunan bangsawan Bugis itu mengurungkan niat mengakhiri hidup dan memilih bangkit dengan langkah baru yang penuh pijaran semangat. Lebih-lebih setelah mendengarkan penjelasan dokter bahwa kusta yang ia idap bisa disembuhkan. 

Namun perjuangannya sungguh tak mudah. Ketika awal didiagnosis menderita kusta, ia merasa dunianya seolah berhenti berputar. Yang terbayang di benaknya adalah kesulitan dan hambatan hidup akibat penyakit yang kadung dianggap sebagai kutukan Tuhan sehingga membuatnya malu tiada terkira. Akankah dia terkucil dan menghabiskan sisa hidup di sanatorium tanpa teman atau keramahan dunia sosial yang hanya jadi impian belaka?

Kenyataan memang pahit adanya dan ia cuma bisa pasrah. Kusta betul-betul merenggut kebebasan fisiknya: tangan dan kakinya akhirnya cacat lalu orang-orang pun menjauhinya sebab ia dianggap berbeda. Bukan hanya dicaci, dihina, dan dimaki saat berada di sekolah, Amin juga dicemooh ketika berada di ruang publik. Nahasnya lagi, keluarga besarnya pun ikut mendapat cemoohan yang menyakitkan.

Mendirikan Perhimpunan Mandiri Kusta



Yang paling mengecewakan mungkin adalah momen ketika ia dipaksa berhenti dari pekerjaannya sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) padahal dia sudah mengabdi selama tiga tahun di sebuah instansi. Ia tak pernah menyangka penderitaan bakal berlangsung selama 28 tahun sejak ia berusia 12 tahun atau kelas 5 SD tatkala bercak putih muncul di punggungnya dan bersifat mati rasa. Boleh dibilang, ketidaktahuannya telah merenggut kebebasan dan kehidupannya sebab di mana-mana ia ditolak, dicaci maki, dan bahkan dihina oleh teman sejawat. 

Kendati ia sanggup bangkit dan menjadi sosok inspiratif dengan mendirikan Perhimpunan Mandiri Kusta (PerMaTa) dan diminta berbicara di perhelatan Global Appeal 2014 di Grand Sahid Jaya Hotel, 27 Januari  2014, tetapi luka batin tetap membekas. Stigma negatif dalam masyarakat bahwa kusta itu mudah menular dan tidak mungkin diobati terlanjur mengakar kuat dan meninggalkan trauma.

Kondisi kusta di Indonesia

Pengalaman pahit yang mendera Amin bisa jadi hanya fenomena gunung es. Banyak kasus tak terekam oleh media akibat ketidaktahuan penderita, ditambah minimnya pengetahuan publik sekitar sehingga malah mencemooh dan menjauhi penderita alih-alih memberikan dukungan positif yang memberdayakan. Bagaimana sebenarnya perkembangan kasus kusta di Tanah Air?

Di Indonesia, jumlah kasus kusta baru rupanya stagnan selama sepuluh tahun terakhir. Jumlahnya berkisar 16.000 sampai 18.000 kasus dan membuat Indonesia sebagai negara dengan kasus kusta tertinggi ketiga di dunia setelah India dan Brasil. Tentunya ini data yang mengkhawatirkan sebab kita dikenal karena gangguan kesehatan, bukan prestasi membanggakan.

Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas karena kusta harus dicegah. (Gambar: freepik) 


Parahnya, kusta yang berdampak pada disabilitas terbilang cukup tinggi, jumlahnya mencapai 6,6 per 1.000.000 penduduk pada tahun 2017 sementara target pemerintah kurang dari 1 per 1.000.000 masih jadi PR besar. Tak bisa dimungkiri, ada keterlambatan dalam penemuan dan penanganan kusta yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae di samping karena faktor penularan melalui kontak. 

Selama ini pasien kusta dan penyandang disabilitas sering kali kesulitan dalam memperoleh layanan kesehatan yang memadai dan informasi tepercaya seputar perawatan kusta yang mereka derita. Belum lagi jika mereka berada di wilayah terpencil yang sulit dijangkau akibat keterbatasan transportasi. Inilah yang disinyalir kian meningkatkan risiko penularan dan jumlah kasus baru kusta di Indonesia.

Optimalkan peran media

Di sinilah pentingnya mengoptimalkan peran media untuk ikut menyuarakan isu kusta. Tujuannya jelas, yaitu agar masyarakat luas semakin sadar bahwa kasus kusta masih ada dan harus diwaspadai sebab bisa menyebabkan seseorang cacat dan kehilangan produktivitas ekonomi. Apalagi perkembangan teknologi informasi yang sangat masif sehingga media digital bisa kita manfaatkan untuk menyebarkan pemahaman ini tanpa sekat dan biaya yang relatif murah.

Maka kiprah Ajiwan Arief Hendradi layak diacungi jempol. Melalui solidernews.com, lelaki asal Yogyakarta ini berkomitmen untuk mengangkat dan mengomunikasikan isu-isu penting bagi kalangan difabel sehingga suara mereka didengar dan mampu terus berkontribusi bagi masyarakat sesuai cara dan kemampuan masing-masing. Selaku redaktur solidernews.com, Ajiwan seolah mantap berkata bahwa inklusi bagi para penyandang difabel di Indonesia masih perlu diperjuangkan, tepat seperti tagline Solider, yakni "beranda inklusi & informasi difabel".



Dalam sebuah gelar wicara (talkshow) yang digelar secara livestream di akun Youtube KBR dengan dukungan penuh NLR Indonesia, Ajiwan menyatakan bahwa solidernews adalah salah satu media alternatif yang berfokus menyuarakan isu advokasi disabilitas di seluruh Indonesia. Solidernews sendiri berada di bawah naungan sebuah lembaga bernama SIGAB yang merupakan akronim dari Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel. Para aktivis di sini merasa terpanggil untuk membentuk media komunitas guna mewadahi aspirasi, potensi, dan mensosialisasikan isu difabel kepada masyarakat luas.

Meskipun berkantor di Yogyakarta, namun kami bekerja di lingkup nasional. Jadi kami memberitakan, menyuarakan, dan menginformasikan isu advokasi disabilitas atau difabel dari seluruh indonesia. harapannya agar isu disabilitas ini bisa semakin luas diketahui dan dijangkau oleh masyakarat luas; mereka jadi terliterasi, seperti itu.

Dalam acara yang dihelat Selasa, 31 Oktober 2023 itu lebih lanjut Ajiwan menuturkan bahwa goals dari media seperti solidernews adalah agar penyandang disabilitas tidak lagi terpinggirkan, tidak terdiskriminasi, dan tidak pula terstigmatisasi dalam rangka mewujudkan dunia yang inklusif di Indonesia. Tentunya ini menjadi tantangan tersendiri sebab tak banyak media yang memilih jalur tersebut. 

Kita memang harus akui bahwa isu difabilitas selama ini belum mendapatkan ruang yang cukup dalam proses sirkulasi informasi secara nasional. Baik kuantitas maupun kualitas, informasi yang bertebaran di dunia maya rasanya belum berpihak pada kaum yang termarginalkan seperti kaum difabel. Selain framing informasi yang cenderung mendiskeditkan, akses pada informasi yang memadai juga belum tersedia.

Rizal (host KBR) bersama Ajiwan, redaktur solidernews.com tentang isu kusta


Termasuk isu kusta yang perlu mendapat sorotan di media, apa pun bentuknya. Ajiwan mengakui bahwa peran media sangatlah efektif dalam menyuarakan isu kusta yang masih menjadi momok di Tanah Air. Media digital bisa menjangkau wilayah di pelosok sehingga masyarakat akan sadar dan terliterasi tentang apa itu kusta dan apa yang perlu dilakukan jika orang terdekat atau bahkan ia sendiri mengalami gejala terindikasi kusta.

Sebagaimana KBR, ternyata Solidernews yang digawangi Ajiwan juga mendapat dukungan kolaboratif dari NLR Indonesia. Bagi yang belum tahu, NLR Indonesia adalah LSM nirlaba yang fokus pada penanggulangan kusta dan konsekuensinya di Indonesia. Lembaga kemitraan antara Indonesia dan Belanda ini telah dirintis sejak tahun 1975 dan menggunakan pendekatan tiga zero dalam operasinya, yakni zero transmission (nihil penularan), zero disability (nihil disabilitas), dan zero exclusion (nihil eksklusi).

Solidernews telah lama bekerja sama dengan NLR dalam isu penanggulangan kusta. Ajiwan menuturkan bahwa pihaknya berkali-kali diminta memberikan pelatihan bagi dampingan NLR Indonesia, misalnya training jurnalistik agar OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta) bisa menyuarakan isu kusta di media sosial. Tahun ini Ajiwan juga melanjutkan kolaborasi dengan NLR dengan pelatihan yang lebih intensif lagi.

Peluang berkontribusi di solidernews

Selama livestream di Youtube, peserta membanjiri kolom komentar dengan pertanyaan dan antusiasme yang tinggi. Ini bukti bahwa isu disabilitas juga mendapat dukungan banyak pihak asalkan diangkat dan dikomunikasikan dengan intensif. Salah satu pertanyaan menarik datang dari Wahyu Widyaningrum, yakni mengenai aturan atau syarat menulis bagi OYPMK di Solidernews yang diampu Ajiwan dan tim.

Secara umum tidak ada batasan yang menyulitkan, hanya saja tulisan akan dinilai berdasarkan terpenuhinya kaidah jurnalistik dan sejauh mana pesan bisa dikemas untuk menyuarakan isu tertentu kepada pembaca. Jadi syarat itu bukan mengikat penulis apakah OYPMK atau tidak, melainkan standar penulisan sesuai jurnalisme yang baik dan dibaca oleh masyarakat. 

Bagi penulis atau kontributor bahkan disediakan honor sebagai imbalan. Menarik banget kan? Nah, teman-teman bloger pun bisa berpartisipasi. Dengan cara menulis di blog atau media sosial sesuai minat dan preferensi. Yuk bantu suarakan isu kusta agar negara kita terbebas dari ancaman kecacatan dan hilangnya produktivitas ekonomi.   




Post a Comment

0 Comments